Pembagian Hadits sari
segi Kuantitas
DI
S
U
S
U
N
OLEH:
U
S
U
N
OLEH:
YASIRLI
(411206668)
DOSEN
PEMBIMBING: Edi Darmawijaya, S.Ag, M.Ag
JURUSAN
KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA
ACEH
2013
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Rumusan Masalah
1
BAB 2
PEMBAHASAN
2
A. Pembagian Hadits sari segi Kuantitas
2
B. Pembagian
hadits dari segi Kualitas
8
BAB 3
PENUTUP
13
Kesimpulan
13
DAFTAR PUSTAKA
14
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Seiring
perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian
keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu
hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari,
terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian
hadits yang banyak dan beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang
setelah melihat pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan
dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya hadits
ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi
kualitas sanad dan matan.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits
maka pada bahasan ini hnya akan membahas pembagian hadits dari segi kuantitas
dan segi kualitas hadits saja.
B.
Rumusan Masalah
1. Pembagian Hadits dari segi kuantitas
2. Pembagian hadits dari segi kualitas
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pembagian Hadits Dari Segi Kuantitas Perawi
Para
ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek
kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada
yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan
ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits
ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri
sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama
ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama
golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama
kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits
ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka
membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara
etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam
terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang
banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat
untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak
thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian
mutawatir adalah :
مـَا كَانَ عَنْ
مَحْسُوْسٍ أَخْبَرَ بِهِ جَمــَاعَةً بَلـَغُوْا فِى اْلكـَثْرَةِ مَبْلَغـًا
تُحِيْلُ اْلعَادَةَ تَوَاطُؤُهُمْ عَلـَى اْلكـَـذِبِ
Hadits yang berdasarkan pada
panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang
mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat
berbohong.[2]
Ulama
mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-syarat
hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak
termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan
tentang shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak
perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan.
Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan
diamalkan.
Ø
Syarat
Hadits Mutawatir
1. Hadits Mutawatir harus
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini bahwa mereka tidak
mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang jumlah minimal
perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits mutawatir
sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar
Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10
itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang
menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.
2. Adanya keseimbangan antara
perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya. Keseimbangan jumlah
perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
3. Berdasarkan tanggapan
pancaindra
Berita yang disampaikan para
perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-benar dari hasil
pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu
merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain,
atau hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits
mutawatir.
Ø
Macam-macam
mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam,
yaitu :
1. Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu
hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang sama, serta kandungan
hokum yang sama, contoh :
قـَالَ رَسُوْلُ الله
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فـَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ
Rasulullah SAW bersabda, “Barang
siapa yang ini sengaja berdusta atas
namaku, maka hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.
Menurut Al-Bazzar, hadits ini
diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan bahwa hadits ini
diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2. Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits
mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang
berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang sama tetapi
lafaznya tidak.
Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu
Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.
قال ابو مسى م رفع رسول
الله صلى عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطه فى شئ من دعائه إلا فى الإستسقاء (رواه
البخارى ومسلم
Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa
Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a hingga
nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam sholat istisqo’
(HR. Bukhori dan Muslim)
3. Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni
amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti
oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti
oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang shalat dan
jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah
yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits
mutawatir ‘amali.
Mengingat
syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir lafzhi,
maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak
mungkin ada. Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa
hadits mutawatir (termasuk yang lafzhi) memang ada, hanya jumlahnya sangat
terbatas. Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani, Hadits mutawatir jumlahnya banyak,
namun untuk mengetahuinya harus dengan cara menyelidiki riwayat-riwayat hadits
serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga dapat diketahui dengan jelas
kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta terhadap hadits yang
diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara khusus
memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut :
1. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah,
yang dsusun oleh Imam Suyuthi. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513
hadits.
2. Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al
Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)
2. Hadits Ahad
Kata
ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi, kara ahad berarti
satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits
ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang
atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori
hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya
tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Ulama ahli hadits membagi hadits
ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur:
A. Hadits Masyhur
Menurut
bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan
menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :
مـَارَوَاهُ مِنَ
الصَّحَابَهِ عَدَدٌ لا يَبْلُغُ حَدَّ تَـوَاتِر بَعْدَ الصَّحَابَهِ وَمِنْ
بَعْدِهِمْ
“Hadits yang diriwayatkan dari
sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan mutawatir, kemudian baru
mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka.”
Hadits masyhur ada yang berstatus
shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus shahih adalah yang
memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya. Seperti hadits
ibnu Umar.
اِذَا جَاءَكُمُ
اْلجُمْعَهُ فَلْيَغْسِلْ
“Barang siapa yang hendak pergi
melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus
hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik
mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ
ضـــِرَارَ
“tidak memberikan bahaya atau
membalas dengan bahaya yang setimpal.”
Adapun hadits masyhur yang dhaif
adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik
pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :
طَلَبُ اْلعِلْمِ
فَرِيْضَــهٌ عــَـلَي كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَــــهٍ
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim
laki-laki dan perempuan.”
Dilihat dari aspek yang terakhir
ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam :
1. Masyhur dikalangan ahli
hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca do’a qunut
sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan Zakwan.
(H.R. Bukhari, Muslim, dll).
2. Masyhur dikalangan ulama ahli
hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga dikalangan orang awam,
seperti :
َاْلمُسْلِمُ مَنْ
سَـــــلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِســـَـانِهِ وَيدِهِ
3. Masyhur dikalangan ahli fiqh,
seperti :
نَهَي رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّي اللهِ عَلَيْــــهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ اْلغَرَرِ
“Raulullah SAW melarang jual beli
yang didalamnya terdapat tipu daya.”
4. Masyhur dikalangan ahli ushul
Fiqh, seperti :
اِذَا حَكَمَ
اْلحَاكِمُ ثُمَّ اجْتَهَدَ فَـــأَصَابَ فَلـَــهُ أَجْرَانِ وَاِذَا حَكَــــمَ
فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخَــــطَأَ فَلـَهُ أَجْرٌ
“Apabila seorang hakim memutuskan
suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh
dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu
salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).
5. Masyhur dikalangan ahli Sufi,
seperti :
كُنْتُ كَنْزًا
مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرِفَ فَخَلـَقْتُ اْلخَلْقَ فَبِي عَرَفُوْنِ
“Aku pada mulanya adalah harta
yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk dan
melalui merekapun mengenal-Ku
6. Masyhur dikalangan ulama Arab,
seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag paling fasih mengucapkan “(dha)”
sebab kami dari golongan Quraisy”.
B. Hadits Ghairu Masyhur
Ulama
ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan Gharib.
Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau
jarang”. Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang
dari dua orang dalam semua tingkatan sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan
bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau
lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang
jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan
bahwa hadits ‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang
perawi.”
Dari pengertian diatas dapat
dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz bukan hanya yang
diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang
diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz :
لاَ يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّي أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِـدِهِ وَوَلــِدِهِ
وَالنـَّـاسِ أَجْمَعِيْنَ
“tidak beriman seorang di antara
kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, orang tuanya, anaknya,
dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Adapun hadits Gharib, menurut
bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah
“hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut
Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam
sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja
penyendirian dalam sanad itu terjadi”. Penyendirian perawi dalam meriwayatkan
hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya, yakni tidak ada yang
meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan perawi
itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan
kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu,
penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.
B. Pembagian hadits dari segi Kualitas
Sebagiamana
telah dikemukakan bahwa hadits
muatawatir memberikan penertian yang yaqin bi alqath, aritnya Nabi
Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuan)
dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil
mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh
telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti
lagi, baik terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang
hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya),
mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun
sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah diterima
sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama
ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian,
yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
1. Hadits shahih
Menurut bahasa berarti “sah,
benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa ahli memberikan
defenisi antara lain sebagai berikut :
·
Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang
sanadnya bersambung (muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith
dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan
tidak ber’illat”.
·
Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak
syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat
dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 1) sanadnya bersambung, 2)
perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4) matannya tidak syaz,
dan 5) matannya tidak mengandung ‘illat.
2. Hadits Hasan
a. Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata
al-husnu (الحسن ) bermakna al-jamal (الجمال) yang
berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits
hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh
Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu :
وَخَبَرُ اْلآحَادَ
بِنَقْلِ عَدْلِ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَ
شَاذٍّ هُوَ الصَّحِيْحِ لِذَاتِهِ. فَاءِنْ خَفَّ الضَبْطُ فَلْحُسْنُ لِذَاتِهِ
khabar ahad yang diriwayatkan
oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung sanadnya, tidak
ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit
kedhabitannya disebut hasan Lidztih.
Dengan kata lain hadits hasan
adalah :
هُوَ مَا اتَّصَلَ
سَنَدُهُ بِنَقْلِ اْلعَدْلِ الّذِي قَلَّ ضَبْطُهُ وَخَلاَّ مِنَ الشُّذُوْذِ
وَاْلعِلَّهِ
Hadits hasana adalah hadits yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit
kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat.
Criteria hadits hasan hampir sama
dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi kedhabitannya.
Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan
dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits
shahih.[8]
b. Contoh hadits Hasan
hadits yang diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi
dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi SAW
bersabda :
أَعْمَارُ اُمَّتِي مَا
بَيْنَ السِّتِّيْنَ اِليَ السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذَالِكَ
“Usia umatku antara 60 sampai 70
tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.
c. Macam-macam Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang
terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu
hasan lidzatih dan hasan lighairih.
Hadits hasan lidzatih adalah
hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala criteria dan
persyaratan yang ditemukan. Hadits hasan lidzatih ebagaimana defenisi penjelasan
diatas.
Sedangkan hadits hasan lighairih
ada beberapa pendapat diantaranya adalah :
هُوَ اْلحَدِيْثُ
الضَّعِيْفُ اِذَا رُوِيَ مِنْ طَرِيْقِ أُخْرَي مِثْلُهُ أَوْ أَقْوَي مِنْهُ
“adalah hadits dhaif jika
diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat.
هُوَ الضَّعِيْفُ اِذَا
تَعَدَّدَتْ طُرُقُهُ وَلـَمْ يَكُنْ سَبَبُ ضَعْفِهِ فِسْقَ الرَّاوِي
أَوْكِذْبُهُ
“adalah hadits dhaif jika
berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik atau dustanya
perawi.
Dari dua defenisi diatas dapat
dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi hasan lighairih dengan dua syarat
yaitu :
1) Harus ditemukan periwayatan sanad lain
yang seimbang atau lebih kuat.
2) Sebab kedhaifan hadits tidak berat
seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hafalan kurang atau terputusnya
sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.
d. Kehujjahan hadits Hasan
Hadits
hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih. Semua
fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari
kalangan orang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits
(musyaddidin). Bahkan sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan
shahih (mutasahilin) memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu
Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
3. Hadits Dhaif
Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (الضعيف)
berarti lemah lawan dari Al-Qawi (القوي) yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif
ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima
sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif adalah :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ
صِفَهُ الْحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
Adalah hadits yang tidak
menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak
terpenuhi.
Atau defenisi lain yang bias
diungkapkan mayoritas ulama :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ
صِفَهُ الصَّحِيْحِ وَاْلحَسَنِ
Hadits yang tidak menghimpun
sifat hadits shahih dan hasan.
Jika hadits dhaif adalah hadits yang
tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadits hasan dan shahih,
misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan
tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan
terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.
contoh hadits dhaif
hadits yang diriwayatkan oleh
At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu
Hurairah dari Nabi SAW bersabda :
وَمَنْ أَتَي حَائِضَا
أَوِامْرَأَهٍ مِنْ دُبُرِ أَوْ كَاهِنَا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا اُنْزِلَ عَلَي
مُحَمَّدٍ
barang siapa yang mendatang
seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan belakang (dubur) atau
pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW.
Dalam sanad hadits diatas
terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif oleh para
ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan komentar : فِيْهِ لَيِّنٌ padanya lemah.
Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan
hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits dhaif terdapat kecacatan para
perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat
tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para
ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan
kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
1. tidak berkaitan dengan akidah
seperti sifat-sifat Allah
2. Tidak menjelaskan hokum syara’
yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi, berkaitan dengan masalah
maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji),
kisah-kisah, dan lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadit dhaif,
jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif
(mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi
cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya
:
رُوِيَ diriwayatkan, نُقِلَ dipindahkan,
فِيْمِا يُرْوِيَ pada
sesuatu yang diriwayatkan dating.
Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).
Ø Pengamalan
hadits dhaif
Para ulama berpendapat dalam
pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu :
1. Hadits dhaif tidak dapat
diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail al a’mal) atau dalam
hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin
Ma’in. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari,
Muslim, dan Ibnu hazam.
2. Hadits dhaif dapat diamalkan
secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam masalah hokum (ahkam),
pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih
kuat dari pendapat para ulama.
3. Hadits dhaif dapat diamalkan
dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan
tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana
yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :
·Tidak terlalu dhaif, seperti
diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau dituduh dusta (hadits
matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq dan
bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).
·Masuk kedalam kategori hadits
yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits muhkam (hadits maqbul yang tidak
terjadi pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan hokum
pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul dibandingkan
oposisinya).
·Tidak diyakinkan secara yakin
kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata atau ikhtiyath.
Ø
Tingkatan hadits dhaif
Sebagai
salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak terlalu
dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk
kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail al-a’mal. Menurut
Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk adalah mawdhu’’, matruk, mu’allal,
mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembagian
hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu
hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi
menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan
hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur,
sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan ghairu
aziz.
Sedangkan hadits bila ditinjau
dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi dua macam yaitu hadits maqbul
dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam yaitu hadits
mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah
hadits yang da’if.
DAFTAR
PUSTAKA
Asmuni, Drs. H. M. Yusran, Pengantar Studi Al-Qur’an, Al-hadist, Fiqh dan Pranata Sosial,
Jakarta1997.
Shiddieqy, M.Hasbi, As,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1974
Ahmad, Muhammad, dan Mudzakir, Muhammad, Ulumul Hadits, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2000.
0 komentar:
Post a Comment