“Edwin, Edwin woy tunggu dong” teriak Ika.
“iyaa? Kenapa sih kak, kok teriak-teriak gitu.” Sahutku sambil tetap berjalan
“gimana gak teriak, kamu sih main nyelonong pergi aja” ucapnya sambil mangatur nafas karena berlari mengejarku
“iya deh iya maaf, terus kenapa kamu manggil aku?” jawabku penasaran
“gini loh, kamu mau ya dateng di ulang tahunku? mau ya?” kata Ika sambil mendongakkan kepalanya berharap aku mengiyakan tawarannya
“engga deh kak makasih” jawabku ketus
“loh kok gitu sih, apa cuman gara-gara masalah dengan pacarku kamu gak mau dateng?” ucapnya menebak pikiranku.
Aku merasa bingung, benar kata Ika. Apa gara-gara aku memiliki masalah dengan pacarnya aku tidak menghadiri acara itu? tidak ada hubungannya dengan ika, toh itu pun sudah lama terjadi. Ika juga sangat baik, ucapku dalam hati.
“iya deh, aku pikir-pikir dulu” sahutku sambil berjalan
“bener loh! Harus dateng!” jawabnya sambil menepuk bahuku.
Aku pun berjalan ke tempat parkir dan pulang dengan motor beat putih yang selalu aku kendarai untuk sekolah. Dalam perjalanan aku memikirkan ajakan ika, bingung untuk menghadiri ulang tahunnya atau tidak. Sesampainya di rumah kubuka pintu kamar dan kurebahkan tubuhku. ‘bruk’ aku berbaring dengan sepatu yang masih melekat di kakiku.
“dek Edwin? pulang bukannya salam malah langsung nyelonong gitu aja, masih pake sepatu lagi” ucap ibuku dengan sedikit menggerutu. Aku heran ketika ibu memanggilku dengan awalan ‘dek’, secara aku sudah 17 tahun dan aku merasa telah dewasa. Tapi biarlah, toh aku juga nyaman dengan kata tersebut.
“iya deh mah, assalamualaikum.” Sahutku
“ini anak nakal banget. Sepatu copot, cuci kaki cuci tangan makan!” kata ibu sambil meninggalkanku. Saat itu juga aku menuruti kata ibu, takut jika beliau semakin marah.
Drrt, suara handphoneku bergetar. “PING!!!” ika? kenapa dia? Tanyaku dalam hati. Aku pun tidak menggubris BBM dari ika dan berdiri untuk mengambil makanan. “drrt drrt… suara handphoneku bergetar lagi, kali ini ika menelponku.
“iya kak, kenapa?” tanyaku saat mengangkat telepon dari ika
“entar jadi dateng kan?” jawabnya. Aku mulai berpikir tentang ajakan ika, okelah lagipula belum ada acara untuk hari ini. Kebetulan juga hari ini malam minggu, ngapain aku sendiri di rumah, pikirku.
“iya, aku jadi dateng. Jam berapa dimana?” tanyaku
“nah gitu dong. Di PH jam 5 aku udah pesen meja kok, entar langsung ketemuan disana ajaa. Okee?” jawabnya dengan nada sumringah
“jam 5 di PH. Okee” ucapku memastikan tempat dan waktunya.
Aku pun langsung beranjak mandi karena waktu itu sudah menunjukan jam 4 sore. Segera aku meminta ijin ibu dan pergi dengan vixionku karena beat yang biasa aku pakai sedang tidak ada bensin. Sesampainya di tempat yang sudah direncanakan, aku pun mencari meja yang telah dipesan oleh ika,
“selamat sore kak, mau pesan meja untuk berapa orang?” Tanya salah satu pelayan di tempat itu
“oh engga mbak, saya mau tanya meja atas nama ika di sebelah mana ya? Sahutku menanyakan meja ika
“oh mari kak saya antar” ucap pelayan tersebut dengan halus. Ternyata sudah ada ika dan teman-temannya yang satu pun tidak kukenal, kecuali seorang gadis behijab yang sudah tidak familiar bagiku. Aul? gumamku agak kaget. Sekarang aku tau mengapa ika memaksaku untuk menghadiri acaranya. Ya dia sengaja memaksaku untuk bertemu dengan aul, seoarang gadis yang sebelumnya aku kenal di sosial media twitter. Aul adalah sahabat ika, dan ika telah berencana mencomblangkan kami. Aul anak yang baik, cantik, walaupun agak manja.
Singkat cerita kami pun jadian. Seperti halnya orang kasmaran, minggu pertama pacaran semua manis banget. Dari BB yang dulu cuman buat BBMan doang, sekarang buat telponan berjam-jam. Dari yang BBMan kalo lagi butuh, sekarang jadi BBMan kapan aja.
Bulan pertama pacaran semuanya manis. Masuk bulan kedua, manisnya ilang berubah jadi pait. Entah apa yang membuat kami menjadi seperti sekarang. Namun satu hal yang pasti, aku tidak tahan dengan kemauannya yang menurutku tidak wajar. Apa itu sifat dari anak orang berada? Gumamku dalam hati, entahlah. Ditambah dengan jarak rumah kami yang bisa dibilang sangat jauh, sehingga membuat hubungan kami tidak harmonis dan sering terjadi kesalah pahaman. Seringkali ketika kami bertengkar, aul mengucapkan kata putus yang membuat aku terkejut. Aku sudah muak dengan sifat aul yang kekanak-kanakan, sehingga aku mengiyakan ucapannya.
Aku dan aul pun mengakhiri hubungan kami, dan saat itu juga aku bertemu teman masa kecilku dulu sekaligus seseorang yang aku cintai selama hampir enam tahun, Vita namanya. Aku masih mengingat perkenalan pertama kami, lucu, unik, dan tak akan terlupakan. Dia mempunyai mata indah, mata yang spesifik. Aku tahu jika vita tidak mempunyai perasaan yang sama denganku. Vita lebih mencintai abangku, Andre. Sejak dulu vita dan abangku sangat dekat, sehingga aku tidak berani mengungkapkan perasaanku dan lebih memilih memendamnya hingga saat ini. Aku sadar jika aku sudah tak diharapkan, namun aku juga sadar bahwa vita terlalu berharga untukku. Aku lebih memilih memendam perasaan, karena aku takut terluka. Tapi justru memendam yang membuatku luka. Mungkin orang beranggapan ini adalah cinta monyet, apalagi kami sudah lama tak bertemu, tapi ini bukan. Kalau cinta monyet, aku pernah mengalaminya. Tidak, ini lebih serius dari itu. Aku merasakan hal yang sama, Cuma lebih dalam.
Semakin hari hubungan antara bang andre dan vita semakin dekat. Mereka sering jalan bareng, makan bareng, bahkan telepon hingga larut malam. Ikut bahagia sih jika ngeliat vita sudah dapat yang tepat. Cemburu? kalo iya aku bisa apa? pikirku dalam hati. Suatu hari kami pergi bersama untuk menonton film horor yang berada di bioskop kota kami. Jelas vita dengan abangku, sedangkan aku sendiri bersama adik kelasku yang saat itu masih dekat denganku. Aku menghayal jika aku adalah abangku, aku akan sangat bahagia malam itu. Memang susah jika kita sayang oleh seseorang sudah bertahun-tahun, mau bagaimanapun juga tetep saja sayang. Susahnya lagi dia tidak mengetahui apa yang sedang kita rasakan, dia hanya menganggap kita teman atau kakak saja.
Aku tidak yakin jika bang andre benar-benar mencintai vita seperti aku mencintainya. Aku sering melihat bang andre sedang chatingan dengan beberapa cewek yang menurutku mereka bukan hanya seorang teman abangku. Aku pun menanyakan siapa gadis-gadis tersebut.
“bang gimana vita? udah jadian?” tanyaku penasaran.
“gimana apanya? jadian? siapa yang jadian? Aneh kamu dek.” Jawabnya sambil membalas chat seseorang.
“kamu sama vita lah, kan udah deket. Lagi bales chat siapa sih? Penting banget.” Kataku sambil mengintip layar hp bang andre.
“enggalah dek, masa sama vita, kita cuman deket biasa kok. Ini loh, dari gebetan baru hehe” Ucapnya sembari tersenyum lebar. Aku terkejut mendengar kata-kata abangku. Jadi mereka hanya teman? bagaimana dengan vita. Apakah dia sudah mengetahui hal ini? ucapku dalam hati.
Selang beberapa hari, aku terpikir oleh kedekatan bang andre dan vita. Aku takut jika vita merasa sedih karena abangku hanya menanggapnya seoarang teman seperti yang sedang aku rasakan saat ini. Aku pun berusaha untuk membuat vita tidak merasakan apa yang sedang aku rasakan dengan menghiburnya, menyemangatinya. Aku tidak ingin melihat vita bersedih hanya karena abangku. Terkadang aku merasa iri kepada abangku. Dalam doa baik aku bersyukur masih dapat memendam perasaan yang begitu menyakitkan. Di sisi lain aku selalu mengeluh, mengapa Kau pertemukan aku dengan dia yang mungkin tak pernah bisa bersatu. ‘kapan kau sadar bahwa ada aku yang selalu ingin melihatmu tersenyum, bukan hanya abangku yang selalu membuatmu menangis’ gumamku dalam hati menahan perasaan yang terpendam selama bertahun-tahun.
Suatu hari setelah pulang sekolah, aku main ke rumah sahabatku vando. Aku bercerita tantang perasaanku kepada vita dan masalah vita dengan abangku. Aku ingat vando hanya mengucapkan kalimat “percuma dong punya perasaan tapi beraninya disimpen doang!” Kalimat itu membuatku tercengang. ‘benar juga kata vando’ ucapku dalam hati.
Tidak lama kemudian aku menerima BBM dari vita, katanya dia ingin bercerita kepadaku. Kebetulan saat itu vita sedang pulang sekolah dan menunggu angkot di salah satu jalan di kotaku. Kami pun sepakat untuk pulang bersama karena rumah vita dan rumahku searah. Aku pun berpamitan dengan vando dan segera ke tempat dimana vita menungguku. Sesampainya disana aku bertemu vita dan langsung menyuruhnya naik ke motorku. Dalam perjalanan pulang vita hanya diam tak mengucapkan satu kata pun, aku mulai bertanya apa yang ingin diceritakan kepadaku.
“gimana vit? mau cerita apa? tanyaku membuka percakapan
“gimana ya bang, bingung mau mulai darimana” ucap vita pelan
“ya udah cerita langsung ke intinya aja, gak usah keburu-buru” jawabku mempersingkat waktu
“bang andre kenapa ya? kok sekarang jadi berubah. Mention dari aku dibales lama, smsku gak pernah dibales. Kamu tau gak kenapa dia begini? tapi jangan bilang bang andre ya kalo aku tanya tentang dia ke kamu” terangnya dengan mendekatkan tubuhnya ke depan agar aku mendengarkan lebih jelas.
“iya deh aku terangin, tapi jangan bilang bang andre juga kalo aku yang kasih tau” ucapku menjelaskan. Aku pun menjelaskan semua yang aku tau tentang bang andre. Aku tahu bahwa vita sangat sedih mendengarkan penjelasanku, namun aku juga tidak ingin vita semakin sedih karena digantungin oleh abangku.
“kenapa sih bang aku harus suka sama bang andre, bukan ke orang lain aja?! Aku capek bang, kalo inget pasti netes. Aku capeeek!” jelas vita sambil menahan tangis. Aku hanya bisa diam karena aku tidak tahu harus menjawab apa.
‘kamu terlalu jauh mencari seseorang yang menurutmu tepat, sehingga kamu tidak melihatku yang selalu memperhatikanmu dari sini’ ucapku dalam hati karena tak mampu kuungkapkan secara langsung.
Setelah itu, kami pun tak berkata apa-apa. Sesampainya di rumah vita, aku pun langsung berpamitan dan pulang. Aku ingin mengungkapkan perasaanku yang telah terpendam bertahun-tahun kepada vita, namun aku takut jika hal ini akan semakin mempersulit keadaan. Aku tak ingin vita semakin terkejut jika mengetahui bahwa aku mencintainya. Aku lebih memilih memendamnya dan rela berkorban asal orang yang aku cintai bahagia. ‘Dia bahagia dan itu lebih dari cukup untukku, apa aku bisa berharap lebih dari itu?’ gumamku dalam hati menerima kenyataan.
Hampir enam tahun, selama itu tak pernah perasaan bodohku terungkap di hadapanmu, terucap dari bibirku, dan didengar olehmu. Aku tidak menginginkannya, hanya karena tak ingin kedekatan kita semakin merenggang dan kau menjauhiku. Aku tak banyak memiliki keberanian untuk mengungkapkan seluruh perasaanku padamu. Karena satu alasan sederhana, aku mencintaimu tetapi kamu mencintainya!
0 komentar:
Post a Comment