>

Wednesday, November 27, 2013

Dengan Qalam Ilahi Ku Melepas Rindu


Sore ini begitu petang, langit mendung menutup pandanganku untuk bisa melihat senja datang. Kini dipelataran masjid Al-Hikmah aku menatap langit dengan pandangan lesu dan tidak bersemangat. Pandanganku tiba-tiba melayang pada seseorang yang akhir-akhir ini selalu mengusik ketenangan hatiku. Entah kenapa setiap bertemu dengan pria itu rasanya tubuhku menggigil, kurasakan jantungku berdegub cepat dan perutku rasanya mual. Perasaan seperti ini tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Tiba-tiba saja pikiranku melayang pada kejadian saat bulan Juli, pertama kali aku bertemu dengannya. Saat itu aku melihat senyum manisnya untuk pertama kali. Aku menyerahkan map berisi ijazah yang tidak sengaja tertinggal ditempat registrasi kampus kami. Hanya dengan melihatnya tersenyum, aku sudah jatuh cinta padanya pada pandangan pertama dan yang kutahu namanya “Dean”.

Sejak saat itu aku selalu berujar dan memberi sugesti pada diriku sendiri untuk bisa mengenalnya lebih dekat. Selalu kuperhatikan dia saat tidak sengaja kami bertemu, mungkin orang-orang mengira aku perempuan yang nekat aku tidak perduli, karena saat bertemu dengannya aku tiba-tiba ingin mengikuti setiap langkah yang ia pijak. Aku juga tidak perduli perkataan teman-temanku bahwa aku hanya terobsesi sesaat padanya. Selalu kucari tahu tentangnya, tapi ternyata aku lelah dan tidak pernah tahu tentangnya. Satu-satunya yang aku tahu adalah ia mahasiswa fakultas tehnik, itupun dari jaket wajib fakultas yang ia pakai. Hingga saat aku mendapatkan nomor hp nya, aku merasa mendapatkan sebuah keajaiban akan mengisi hari-hariku.

***

Dari Ima aku tahu bahwa ia salah seorang mahasiswa fakultas tehnik, dan ia termasuk salah seorang teman Ima, namun berbeda kelas. Ima mengatakan bahwa Dean merupakan mahasiswa yang rajin dan banyak dikagumi bahkan cukup terkenal dikalangan kaum hawa. Ima yang juga merupakan teman satu kos ku, selalu memberikan cerita terbaru tentang Dean yang tidak pernah aku tahu sebelumnya. Ternyata Dean merupakan seorang aktivis dan ia seorang “Ikhwan”. Bagi kami orang yang awam mengganggap bahwa seorang laki-laki yang menjaga perilaku terhadap kepuasan duniawi dan memperdalam agama, kami sebut sebagai ikhwan. Dia salah satu ikhwan yang memang berwajah tampan dan memiliki kepribadian yang menarik bagi wanita, ia begitu pendiam, dingin, namun terkesan membuat penasaran kaum hawa. Ekspresinya selalu membuat orang lain menebak perasaan atau yang sedang ia pikirkan. Entah kenapa aku selalu menyukai setiap ekspresi yang tergambar dari sorot matanya yang tajam. Lebih sering aku melihatnya berekspresi datar, namun itu membuatku geli.

***

Sejak aku mendapatkan nomor hp nya, kami saling mengirimkan pesan singkat hampir setiap hari bahkan pernah satu hari penuh, mulai subuh hingga malam kembali. Selalu ada permasalahan yang bisa kami diskusikan, aku senang bisa mengenalnya. Awalnya kukira dia orang yang sangat pendiam dan sulit untuk diajak berkomunikasi, namun ternyata dia berwawasan luas dan terasa nyambung diajak bicara. Namun terkadang sifatnya yang tidak menentu membuatku bingung. Hampir pernah dia berdiam ketika sedang berbicara di telepon. Perlahan aku mencoba mengenalnya lebih dalam, namun suatu hari ia tiba-tiba saja menanyakan padaku tentang statusku, dan kujawab aku sama sekali tidak pernah pacaran, namun banyak dekat dengan seorang laki-laki sebagai sahabat. Ternyata dia tidak begitu suka, namun saat kutanya tentang dirinya ia juga mengatakan bahwa ia juga sedang dekat dengan seorang perempuan. Darahku mendidih terserang cemburu, rasanya aku tidak bisa terima dengan jawabannya. Pernah juga dia mengatakan secara tersirat bahwa tidak baik seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya terlalu dekat. Aku marah dan tidak terima dengan semua argumennya. Bagiku semua itu hanya alasannya untuk menjauhiku saja. Kami bertengkar dan untuk pertama kalinya aku menangis di depan seorang pria, sangat memalukan memang namun hal itu semakin membuatku nyaman pada “Dean”. Dean yang perlahan mulai mengenalkan padaku indahnya agama kami, perlahan mulai membawaku dalam arus yang bukan diriku.

***

Sejak aku mengenal Dean, aku berusaha menjaga hatiku dan menutup diri dengan laki-laki yang dekat denganku. Sifatku yang dahulu ceria dan hampir kategori gila bersama teman-temanku perlahan juga mulai berkurang dan menjadi sedikit pendiam. Dahulu sering aku keluar malam hanya untuk sekedar mencari hiburan bersama teman-temanku, namun saat Dean mengatakan bahwa ia tidak menyukai seorang wanita yang tidak bisa menjaga dirinya. Rasanya aku tertampar oleh ucapannya, dadaku merasa sesak membayangkan jika dia akan membenciku. Dean selalu mengatakan bahwa seorang wanita haruslah menjaga setiap perbuatan dan tingkah lakunya karena itulah kodrat wanita. Aku tidak setuju, aku marah pada pendapatnya itu, bagiku wanita juga membutuhkan kebebasan dan keleluasaan untuk bertindak asalkan sesuai dengan norma yang ada dan batas-batas yang ditentukan agama. Jika memang begitu, selalu muncul dalam benakku tentang kesetaraan gender. Bagiku laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam hal apapun, terutama di zaman seperti ini. Meskipun pada akhirnya kami saling berbeda pendapat, namun Dean selalu mencoba mencari jalan tengah yang terbaik untuk kami. Ia selalu dapat meluluhkan sifatku yang sangat keras kepala. Dean selalu bisa membuatku mempertimbangkan semua tingkah dan ucapan yang telah aku lontarkan. Perlahan namun pasti dia mengubahku.

***

Seorang wanita yang merasa telah menemukan pelabuhannya, bahkan rela menunjukkan kelemahan dan sisi buruknya pada orang yang dicintainya, termasuk menangis dan memperlihatkan sisi paling lemahnya. Aku tidak tahu teori itu benar atau tidak, namun aku sependapat. Prinsip yang selalu kupegang untuk takkan pernah menangis di depan seorang pria, tak berlaku padaku lagi di depan Dean. Memang memalukan, rasanya aku telah membuang dan menjatuhkan harga diriku, ironis, dan memalukan. Saat itu aku dan temanku sedang berkunjung kerumah teman lamaku Andromeda, rumahnya cukup jauh dari rumahku, namun kami nekat pergi kesana. Andro salah seorang sahabat terbaikku dulu saat aku SMA. Kami mulai menjauh saat mengetahui, diantara kami sudah ada rasa yang berbeda hingga persahabatan itu tak lagi murni terjalin. Andro pria baik, sempat aku berpikir kenapa aku tidak bisa mencintai dia saja. Namun, setiap kupikirkan itu maka pikiranku langsung terbayang wajah menyebalkan Dean. “arrghh…sudahlah tidak ada gunanya aku memikirkan Dean, apa yang istemewa sih dari dia? Kenapa aku bisa mencintainya? “

***

Dean selalu membuatku sakit hati. Sejak aku dekat dengannya banyak yang berubah dari diriku, termasuk cara berbusanaku. Seolah ingin menjadi yang pantas dan baik untuk dilihatnya, aku mulai menutup auratku perlahan. Aku mulai memperbaiki sikap dan perilakuku. Sikapku jadi tak menentu, suatu kali aku bahkan bagai seorang ustadzah yang selalu menceramahi teman-temanku, suatu kali aku gila seperti kesetanan, marah-marah tidak jelas. Aku bagaikan anak itik yang menurut kemanapun induknya membawanya. Setiap kali Dean bilang Dhuha bergegaslah aku untuk mengambil wudlu dan bertemu dengan Tuhanku. Setiap kali Dean mengingatku untuk tilawah atau mengaji bergegaslah aku mengambil kitab suciku dan membacanya. Lama kelamaan aku menikmati setiap perhatian yang ia berikan kepadaku, aku merasa menemukan sahabat dimana Dean ada saat aku ingin menangis, menemukan kakak sekaligus ustadz jika imanku sedang menurun seolah ia hadir untuk menyegarkannya lagi, menemukan laki-laki idaman, dimana setiap ucapannya dan tingkahnya hampir menjadi panutan untukku menjadi lebih baik. Pada akhirnya aku sungguh-sungguh jatuh cinta padanya. Namun semakin lama, semakin aku salah mengartikan semua perhatian itu. Hingga suatu kali aku bertanya untuk apa dia melakukan hal tersebut, apakah dia menyayangiku, dia berkata “ya, saya menyayangimu selaknya muslim yang lain”, aku tidak tahu apa yang sesungguhnya ia rasakan. Aku marah karena rasa kecewa dan harapan dari rasa “ge-er”ku yang ternyata hanya ditanggapinya seperti itu. “kumohon jangan perlakukan aku seperti ini, semua perhatianmu ini membuatku gila, setiap waktu yang aku pikirkan adalah berharap mendapat pesan darimu, aku mohon perlahan pergilah dari hidupku” ujarku padanya suatu kali saat aku terbawa emosi. “kalau itu terbaik untuk kita”, kata-kata itu, hanya itu yang dia ucapkan.

Perlahan namun pasti Dean menjauh dari hadapanku, dia mulai menghilang dari hidupku. Ia semakin jarang mengirimiku pesan bahkan mengingatkanku untuk sholat ataupun segala amalan lainnya. Aku mulai terganggu dengan keadaan ini, aku tidak bisa. Kukatakan padanya “kenapa kamu berubah? Apakah aku punya salah? Tolong jangan seperti ini padaku”, namun Dean hanya diam termenung dan tersenyum tipis entah apa artinya itu. Semakin aku menekannya semakin ia menjauh, aku sadar ini sepenuhnya salahku, namun egoiskah aku jika hanya memintanya untuk selalu ada untukku. Ia selalu mengatakan padaku “saat aku mempunyai masalah, obat yang paling manjur adalah dengan membaca Al-Qur’an percayalah bahwa disetiap qalam-qalam ilahi itu tersembunyi suatu yang menjadikan hati ini sejuk dan damai”. Perlahan aku membaca qalam-qalam itu, tak terasa air mataku deras mengalir, mengalun bersama lantutan qalam-qalam ilahi yang aku baca. “Dean aku merindukanmu”.

***

لْخـَبِيـْثــاَتُ لِلْخَبِيْثـِيْنَ وَ اْلخَبِيْثُــوْنَ لِلْخَبِيْثاَتِ وَ الطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَ الطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبَاتِ

“ Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang .baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. (Qs. An Nur:26)

Setiap kali aku melantunkan ayat itu, selalu saja tak kuasa aku untuk tidak menangis tersedu, aku membayangkan bahwa orang sepertiku takkan mungkin bisa bersanding bahkan tidak pantas bagi Dean. Dia terlalu baik untukku yang bahkan aku sendiri tidak tahu aku baik atau jahat. Selalu saja aku egois, juga tidak taat pada agamaku, imanku masih tipis, akupun awam pengetahuan agama. Namun, Dean selalu menjadi motivasi bagiku untuk menjadi lebih baik. Semakin hari, semakin tidak menentu sikapku, aku merindunya, sungguh merindunya, aku ingin memutar waktu dan tidak akan pernah meminta Dean untuk perlahan meninggalkan. Kini aku tidak lagi punya semangat bahkan motivasi, hari-hariku gelap rasanya. Hingga suatu hari Dean mengirimiku sebuah pesan, hanya pesan singkat yang bahkan aku tidak perduli isinya, aku kegirangan, hariku rasanya menyenangkan. Sahabat-sahabatku sudah bisa menebak apa yang sedang terjadi, namun keadaan itu tak berlangsung lama. Tak kuasa rasanya mata ini melihat dia yang aku kagumi sosoknya membonceng seorang wanita yang aku yakin bukanlah muhrimnya dengan sepeda motor. Kakiku rasanya lemas, mataku serasa berkunang, entah kenapa aku melihatnya tertawa dalam keadaan seperti itu. Dapatkah aku percaya semua ini? Bukannya dia yang mengatakan bahwa dia tidak akan pernah mau berboncengan dengan seorang kecuali yang halal baginya. Apa ini? Apakah perempuan itu halal baginya?. Aku marah, aku kecewa, Dean seolah menjilat ludahnya sendiri, saat itu ia mengelak dan mengatakan bahwa “aku terpaksa melakukan hal itu”.

Rasa sakit itu masih membekas, semua ketidak konsistennya masih termaafkan oleh begitu besarnya rasa percayaku padanya. Hingga suatu kali sahabatku mengatakan “Dean mencintai seseorang, janganlah kamu dekat lagi dengannya, dia tidak pantas, bahkan tidak baik untukmu, dia tidak sebaik yang kamu kira, aku tahu Dean, percayalah padaku Ra” ujarnya. Meskipun awalnya aku sama sekali tidak percaya, namun aku sedikit menemukan fakta dan mungkin kebenaran ucapan sahabatku itu, aku percaya. Aku hancur dalam sekali waktu, kini tak kuat lagi rasanya aku menegakkan kepala untuk berharap bertemu dengannya. Aku gila hingga berpikiran untuk mati, aku gila hingga tidak ingin memakan apapun seharian itu. Aku merasa hancur hingga nekat pergi dan meninggalkan teman-temanku sejenak. Selama satu minggu, bagaikan orang tidak waras aku menjalani hari-hariku. Semuanya hampa tidak tersisa lagi rasa percaya. Aku marah pada Tuhanku, aku marah pada diriku sendiri. kenapa Tuhan harus menciptakan cinta, kenapa aku harus bertemu dengannya? Kenapa? Kenapa? Selalu hal itu yang menggema dipikiranku. Seminggu sudah aku tidak masuk hampir semua mata kuliah. Hingga suatu kali, aku berjalan diantara rasa diam yang menjalar, tiba-tiba seseorang mensejajari langkahku dan mengucapkan
“فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذ

” Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? ” (Qs Ar Rahman). Seolah tersentak aku menoleh dan mendapati seseorang yang tidak aku kenal sosoknya tersenyum kearahku. Seolah mendapat sebuah tamparan, aku terbangun ditengah malam, tanpa sadar aku tertidur diatas sajadahku dengan masih mengenakan mukenah dan memeluk kitab suciku.

Terbangun aku dan merenung seraya bersyukur bahwa allah masih mengingatkanku melalui seseorang dalam mimpiku yang mengucapkan qalam itu. Sungguh aku manusia yang tidak tahu berbalas budi. Kenapa sampai bisa aku marah pada Tuhanku, kenapa sampai bisa aku menyiksa jiwa dan batinku hanya untuk mencintai sesuatu yang bahkan tidak kekal. Aku malu, terisak aku dalam sepinya malam, bertasbih tiada henti hanya itu yang bisa kulakukan. Untuk apakah aku mencintai seorang mahluk Tuhanku jika tiada untuk semakin mencintai-Nya, kenapa aku begitu bodoh terlarut dalam perasaan yang menyiksa hingga melupakan makna sesungguhnya mencintai seseorang. Apa yang aku cari selama ini? Cinta dari sesamaku? Untuk siapa semua itu jika semuanya tidak kembali pada Tuhanku?. Selama ini aku dibutakan oleh nafsu mencintai, beribadah hanya untuk orang yang kita cinta bukan lagi untuk-Nya. Ampuniku ya Rabb, ampuniku ya allah. Berulang-ulang kali kumengeluh disunyinya malam itu.

***





Mencintai, dicintai, anugerah terindah…

Menyakiti, disakiti, adalah bagian dari mencinta…

Saat mata terpanah akan pesona…

Seolah lupa pada pencipta…

Terbutakan oleh kilauan kharisma…

Saat air mata mengalir derasnya…

Merasakan rasa sakit atas kecewa…

Tanpa mengadu penuh amarah …

Seolah kita lupa untuk siapa kita mencinta…

Ironis semuanya…

Mungkinkah Tuhan hanya tertawa…

Ataukah Tuhan murka…

Segala jiwa hanya milikNya…

Berserah kembali hanya kepada-Nya…

Ampunkanlah dosa…

Bercinta dengan ayatNya…

Memeluk rindu melalui qalamNya…

Mengaduh kasih atas rahmatNya…

Hingga kubertasbih seraya….

Dengan Qalam Ilahi Ku MerinduNya…

Aku terdiam melihat secarik kertas yang tengah aku pegang. Dia yang hadir dalam mimpiku saat tengah malam itu, tiba-tiba saja menghampiriku dipelataran masjid. Sosoknya terlihat kecil berjalan dikerumunan pemuda lainnya yang hendak memasuki masjid. Dari balik punggungnya aku tahu ia tersenyum dan mengisyaratkanku untuk masuk pula, karena saat itu adzan dhuhur berkumandang. Aku kembali kealam kesadaranku dan tersenyum kemudian. “terimakasih, segala puji bagi allah, ketika kita kehilangan seseorang maka allah akan menggantinya dengan yang lebih baik, semoga…bagaimanapun Dean terimakasih telah hadir dihidupku menghadirkan oase dalam keringnya imanku”.

0 komentar:

Post a Comment